Di tengah-tengah umat, ulama bagaikan lentera yang bersinar terang, membimbing dan menunjukkan jalan yang benar. Apabila ulama terbenam, maka jalan akan kabur. (HR Imam Ahmad).
Ulama adalah lambang harapan dan cita-cita umat. Karena itu, peran politik ulama adalah sebuah keniscayaan. Politik adalah pengaturan rakyat yang tidak akan pernah berpisah dengan visi dan misi sosok ulama. Rusaknya moral para birokrat, bergesernya haluan politik pada sekadar hanya untuk meraih kekuasaan, “lugu”-nya masyarakat menilai persoalan politik, dan intervensi asing terhadap negara, boleh jadi di antaranya karena peran politik ulama yang kian terpinggirkan.
Ulama itu secara bahasa merupakan jamak dari kata alim yang berati orang berilmu. Secara syar’iy, ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah karena keda-laman ilmunya. Diantara karakter yang dimiliki ulama adalah, pertama, ulama adalah orang-orang yang merupakan lambang iman dan harapan umat, serta memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keter-ikatannya terhadap wahyu Allah SWT.
Kedua, benar-benar takut kepada Allah SWT baik dalam hati, ucapan maupun perbuatannya dan berpegang kepada aturan Allah SWT. Firman Allah SWT:
"Sesungguhnya mereka yang takut di kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. (QS. Al-Fathir [35] :28).
Ketiga, tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Tegas sekali firman Allah SWt dalam ayat berikut: “Dan janganlah kalian cenderung (la tarkanu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka…” (QS. Hud [11]: 113). Ibnu Juraij menyatakan bahwa kata La tarkanu berarti ‘jangan cenderung kepadanya'; Qatadah menyebutkan, ‘jangan bermes-raan dan jangan mentaatinya'; sementara Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti ‘jangan meridlai perbuatan-perbua-tannya’.
Ulama, bukan sebuah profesi. Namun, wujud ulama merupakan amanah dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Amanah adalah kemampuan untuk menjaga (hafidz) dan menempatkan sesuatu pada tempatnya (‘adil). Karena itu, aktifitasnya bisa terlibat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat; ekonomi, politik, budaya dan bidang-bidang fardhu kifayah lainnya.
Amanah, salah satunya dipraktikkan dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Menebar kebaikan, mencegah kemunkaran. Di sini, ulama tidak boleh diam. Dan haram mendiamkan kemunkaran. Persoalan besar sekarang, seruan ma’ruf telah banyak. Tapi masih minim peringatan terhadap yang munkar. Sehingga kerusakan makin mudah menyebar.
Imam al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Saat ini masih ada anggapan pada sebagian orang, bahwa ulama itu harus menjauhi politik. Anggapan seperti itu terpengaruh oleh paham sekular Barat yang traumatik terhadap campur tangan gereja terhadap kekuasaan kaisar di Eropa pada Abad Pertengahan, yang memang banyak menimbulkan kesengsaraan bangsa-bangsa Barat. Agama gereja, yang hanya mengajarkan masalah ritual dan moral, ketika memasuki wilayah politik, memang menimbulkan persoalan.
Islam tentu tidak bisa disamakan dengan agama gereja. Islam adalah agama Allah yang bersifat komprehensif, mengandung ajaran dan peraturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk aspek politik dan ketatanegaraan. Jadi, kalau ulama memiliki ilmu pengetahuan Islam yang kâffah, mereka pasti akan melek politik, sekaligus terlibat dalam aktivitas politik. Buktinya, para ulama pada masa para Sahabat, para tâbi‘în, dan para imam mujtahid yang menjadi rujukan umat Islam sedunia umumnya melakukan kegiatan politik.
Maka para ulama harus memiliki kepekaan dan kesadaran politik yang tinggi. Sebab, ulama adalah tumpuan sekaligus harapan umat dan penguasa. Ulama juga adalah rujukan tempat mereka bertanya. Jadi, ulama memang tidak boleh ‘kuper’. Mereka harus cepat menguasai permasalahan sehingga bisa memberikan jawaban dan nasihat yang cepat, tepat dan cermat.
Ulama juga harus memiliki ketegasan sikap. Imam Ahmad bin Hanbal, yang populer dengan perlawanannya terhadap masalah khalq al-Qur’an. ‘Abdullah bin ‘Abbas dengan perlawananya terhadap Khawarij. Sa’id bin Jubair dengan perlawanannya terhadap al-Hajjaj. ‘Izzuddin bin Salam dengan Mamalik. Ibn Taimiyah dengan jihadnya melawan Tatar. Sufyan ats-Tsauri dengan sikapnya, yang tidak mau menyentuh surat Harun ar-Rasyid dengna tangannya, karena surat itu datang dari orang yang zalim. Bahkan, beliau memerintahkan salah seorang pengikutnya untuk membalik surat tersebut, dan menulis di belakangnya: “Kepada Harun —bukan Amirul Mukmin— lalu menyatakan, yang intinya: Anda telah memutuskan diri Anda sendiri untuk mengelola harta kekayaan kaum Muslim dengan hawa nafsu Anda. Anda jelas zalim. Saya kelak akan menjadi saksi Anda.” Abu Hanifah dengan sikapnya yang tidak rela dengan kebijakan al-Manshur secara umum. Suatu hari, ibunda beliau pernah berkata kepada beliau, ketika beliau mendekam di dalam penjara: “Wahai Nukman, sesungguhnya ilmu bisa memberimu manfaat, bukan siksaan dan penjara. Sungguh, kamu pun bisa melepaskan diri darinya.” Beliau pun menjawab: “Ibu, andai saja putramu menginginkan dunia, tentu sudah kugapai. Tetapi, putramu ingin Allah mengetahui bahwa putramu menjaga ilmu-Nya, meskipun harus mengorbankan diri dalam kebinasaan.”
Inilah sikap ulama’ agung kaum Muslim di masa lalu. Lalu, di manakah ulama’ agung kaum Muslim saat ini ketika menghadapi problematika utama umat? Di manakah posisi ulama dalam konteks pernyataan Imam al-Ghazali: “Rusaknya rakyat, karena rusaknya para penguasanya. Rusaknya para penguasa, karena rusaknya para ulama’.” dalam konteks firman Allah:
لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
“Sungguh, kalian harus menyampaikannya kepada umat manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya.” (TQS. Ali ‘Imran [03]: 187)
Ulama wajib memimpin dan menuntun umat dalam perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah. Sesungguhnya pangkal persoalan yang menyebabkan umat Islam terus didera oleh problem multidimensi adalah tidak adanya penerapan syariah Islam secara kaffah. Semua itu bermula ketika Khilafah Islamiyah lenyap dari kehidupan umat Islam. Atas dasar itu, perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah sejatinya adalah perjuangan untuk mengembalikan supremasi Islam, sekaligus membebaskan manusia dari penderitaan akibat penerapan sistem kapitalis-sekular.
Ulama harus berada di garda terdepan dalam perjuangan mulia ini dengan cara memimpin dan membina umat agar mereka memberikan dukungan kepada perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.
Sunday, 11 September 2016
ULAMA HARUS TERJUN LANGSUNG DALAM POLITIK
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

0 comments:
Post a Comment