Monday, 9 November 2015

SI YAHUDI DAN SI MUNAFIK DI MASA RASULULLAH

Di masa Nabi SAW, ada seorang Yahudi yang menuduh seorang muslim
mencuri unta, yang sebenarnya unta itu adalah miliknya sendiri. Untuk
memperkuat tuduhan itu, Si Yahudi ‘menyewa’ empat orang muslim
lainnya untuk membenarkan ‘klaimnya’ bahwa unta itu adalah miliknya.
Empat orang muslim yang dibayar tersebut memang termasuk dari kalangan
kaum munafik, lahiriahnya saja beragama Islam, tetapi jiwanya sangat memusuhi Islam, atau keislaman itu dipergunakannya hanya untuk memperoleh keuntungan duniawiah semata-mata.
Ketika Nabi SAW memperoleh laporan Si Yahudi, berikut empat orang saksi
palsunya, beliau memerintahkan mendatangkan lelaki muslim pemilik unta
yang diklaim tersebut, termasuk unta yang disengketakan itu. Setelah ia
datang, beliau bersabda, “Orang Yahudi ini telah menuduh engkau mencuri
untanya, dan ia membawa empat orang saksi ini. Jika engkau memang tidak mencuri, atau unta ini memang milikmu, tunjukkanlah buktinya, atau
datangkanlah empat orang saksi sebagai hujjahmu!!”
Si Muslim itu dengan kebingungan berkata, “Wahai Rasulullah, unta ini
memang milik saya, tetapi saya tidak tahu bagaimana saya harus
membuktikannya, atau bagaimana bisa saya mendatangkan empat saksi untuk memperkuat kepemilikan saya!!”
Mendengar jawaban tersebut, Nabi SAW bersabda, “Kalau demikian halnya,
tuduhan orang Yahudi itu benar, unta itu miliknya dan engkau akan dijatuhi
hukum qishash, yakni dipotong salah satu tanganmu!!”
Memang, dalam memutuskan hal-hal yang bersifat hukum atau fiqiyah, Nabi
SAW hanya akan melihat dan menilai bukti dan saksi-saksi dengan pengakuan lahiriahnya semata, dalam hal bathiniahnya (kebenaran atau kepalsuan bukti
dan saksi yang ditunjukkan), beliau menyerahkan urusannya kepada Allah.
Kecuali jika ada pemberitahuan khusus dari Allah melalui malaikat Jibril atau
dari jalan lainnya, barulah beliau memutuskan berbeda dengan bukti dan
saksi yang ditunjukkan. Dalam kasus di atas, beliau memang tidak
memperoleh pemberitahuan dari Malaikat Jibril, karena itu beliau ‘memenangkan’ kasus tersebut pada si Yahudi.
Tampak orang Yahudi beserta empat orang saksi palsunya tertawa gembira,
sedang si Muslim makin tenggelam dalam kesedihan dan kebingungan.
Keputusan Nabi SAW telah ditetapkan, jika ia menolak sama artinya telah
ingkar kepada beliau, dan jatuhlah ia dalam kekafiran. Tetapi ia yakin tengah
didzalimi oleh orang Yahudi itu, hanya saja ia tidak tahu bagaimana harus membela diri. Dalam keadaan buntu seperti itu, si Muslim berdoa, “Ya Allah,
hanya Engkau tempat aku mengadu, dan hanya Engkau yang mengetahui
bahwa aku tidak mencuri unta ini!!”
Sesaat dalam keadaan tercenung, seolah-olah mendapat ilham, si Muslim
menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, keputusan engkau
adalah benar, dan saya tidak akan pernah berani menentangnya. Tetapi dalam hal ini, tolonglah engkau tanyakan kepada unta ini mengenai saya!!”
Nabi SAW memenuhi permintaan si Muslim itu, apalagi beliau mendengar
sendiri doa yang dipanjatkannya kepada Allah. Setelah menghadapkan diri
kepada unta yang digugat tersebut, Nabi SAW bersabda, “Wahai unta, milik
siapakah kamu ini??”
Dan sungguh suatu mu’jizat, tiba-tiba sang unta berbicara dengan bahasa manusia dengan fasihnya, “Wahai Rasulullah, saya adalah milik orang
muslim ini, orang Yahudi beserta saksi-saksinya adalah bohong dan palsu
belaka!!”
Pucatlah wajah orang Yahudi dan empat saksinya dari kalangan munafik
tersebut mendengar perkataan sang unta. Segera saja mereka bergegas pergi
sebelum sempat Nabi SAW mempertanyakan tuduhannya, tetapi beliau membiarkannya saja. Beliau justru memandang kagum kepada si Muslim itu,
dan bersabda, “Wahai Fulan bin Fulan, ceritakanlah kepadaku apa yang
engkau kerjakan, sehingga Allah mengijinkan unta ini berbicara tentang
dirimu!!”
Si Muslim berkata, “Tidak ada yang istimewa, ya Rasulullah, kecuali saya
tidak pernah tidur di malam hari sebelum saya membaca shalawat kepadamu, sepuluh kali!!”
Maksudnya tidak ada yang istimewa, adalah apa yang diamalkannya tidak
berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin yang selalu mengerjakan
perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasulullah SAW. Tetapi lagi-lagi Nabi
SAW memandangnya dengan penuh sayang dan bersabda, “Kamu selamat
dan terbebas dari hukuman potong tangan di dunia ini, dan kelak engkau akan selamat dari azab akhirat berkat bacaan shalawatmu kepadaku itu!!”
Hati si Muslim berbunga-bunga, walau baru saja ia didzalimi, sedikitpun tidak terpikir ia akan menuntut balik kepada si Yahudi dan empat orang
muslim (tetapi munafik) tersebut, dengan dalih pencemaran nama baik
ataupun kesaksian palsu. ‘Pembenaran’ Rasulullah SAW atas
‘ijtihadnya’ membaca shalawat sepuluh kali sebelum tidur, dan juga
‘jaminan’ beliau bahwa ia akan selamat dari azab akhirat berkat
amalannya tersebut, merupakan berkah yang sangat besar, sehingga menghapuskan ‘rasa terdzaliminya’ tersebut.
Amalannya tersebut tidak sepenuhnya merupakan amalan baru (bid’ah)
yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Pada dasarnya beliau
menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak membaca shalawat kepada
beliau, termasuk sebelum tidur tersebut. Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW
pernah menganjurkan empat hal kepada istri beliau, Aisyah RA, sebelum ia berangkat tidur. Pertama adalah mengkhatamkan Al Qur’an, kedua adalah
memastikan bahwa ia akan memperoleh syafaat Rasulullah SAW pada yaumul
makhsyar atau kiamat kelak, ketiga adalah memastikan bahwa seluruh kaum
muslimin (di seluruh dunia) menjadi ridha atas dirinya, dan yang ke empat, ia
melaksanakan haji dan umrah.
Tentu saja Aisyah terheran-heran, sekaligus kebingungan bagaimana merealisasikan anjuran Nabi SAW tersebut, satu saja hampir tidak mungkin,
apalagi keempat-empatny a. Nabi SAW tersenyum melihat keadaan istri kesayangan beliau tersebut, kemudian bersabda, “Bahwa engkau
mengkhatamkan Al Qur’an sebelum tidur, cukuplah engkau membaca surat
Al Ikhlas sebanyak tiga kali….!!”
Beliau menjelaskan lebih lanjut tentang amalan sebelum berangkat tidur
tersebut, dengan membaca shalawat sebanyak sepuluh kali, maka ia akan
memperoleh syafaat Rasulullah SAW pada yaumul makhsyar atau hari kiamat kelak.
Dengan membaca istighfar, atau mendoakan ampunan untuk diri sendiri,
orang tua dan seluruh kaum muslimin, sebanyak tujuh kali, sama artinya ia
telah memperoleh keridhaan dari seluruh kaum muslimin di seluruh dunia.
Redaksi sederhana bisa seperti ini : Astaghfirullah al azhiim, wa liwaalidayya,
wa lil mu’miniina wal mu’minaat, al akhyaa-i minhum wal amwaat. Atau bisa memakai redaksi doanya Nabi Ibrahim AS sebagaimana tercantum dalam
QS Ibrahiim ayat 41, atau beberapa redaksi lainnya.
Dan untuk melaksanakan haji dan umrah, maka dengan membaca serangkaian
kalimat thayyibah sebanyak tujuh kali, maka sama artinya ia memperoleh
pahala seperti orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah. Rangkaian
kalimat Thayyibah adalah : Subkhaanallaah wal khamdulillaah wa laa ilaaha illallaah allaahu akbar laa khaula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil
‘azhiim.



SI YAHUDI DAN SI MUNAFIK DI MASA RASULULLAH Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Assalam 19

0 comments:

Post a Comment